pekarangan rumah gw

Rabu, 19 Agustus 2009

FUNGSI SOSIAL ZAKAT dalam MEMBEBASKAN KEMISKINAN


“Apakah zakat mampu mengentaskan masyarakat dari kemiskinan?” Kalau jawabannya mampu, berapa persen setiap tahun saudara kita yang miskin tadi berubah menjadi tidak miskin? Jika jawabannya “tidak” atau “belum”, di mana letak kesalahannya?

Kemiskinan bukan ungkapan yang asing bagi kita, masyarakat negara ketiga. Masing-masing pikiran kita punya persepsi tentang yang mana “miskin” dan “kaya”. Setiap saat kita dijejali dengan sekian produk “pemiskinan” yang membuat kita secara tidak sadar, mengkondusifkan proses “memiskinkan” diri sendiri. Dalam skala yang lebih besar, tak ayal, bangsa kita juga bangsa yang miskin. Dengan memakai perpsektif apapun, semiskin-miskinnya bangsa lain, kita akan tetap berstatus miskin. Kita tidak layak disebut “kaya” karena kita masih miskin. Biarpun berlimpah sumber daya alam (SDA), toh kita tetap tidak mampu berbuat banyak. Kita juga miskin gerak, miskin uang, miskin moral dan miskin akhlak, dan lain sebagainya yang miskin.

Kendati demikian, realitas yang bisa diamati dalam struktur sosial masyarakat kita dewasa ini adalah masih tingginya angka kemiskinan dan pengangguran. Tentu saja fakta ini tidak terlepas dari gelombang krisis ekonomi yang menghantam sendi-sendi perekonomian nasional di penghujung abad keduapuluh satu ini. Dampak dari krisis ekonomi itu di dunia industri, misalnya, dapat dilihat dari banyaknya instansi perusahaan yang mengeluarkan surat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bagi sejumlah besar karyawannya. Pada akhirnya, jumlah korban PHK yang terus bertambah dan tidak diikuti dengan terciptanya peluang kerja menimbulkan pembengkakan angka pengangguran. Inilah jawaban kenapa jurang kemiskinan yang menelan kebanyakan rakyat Indonesia serasa kian menganga.

Memang telah banyak usaha dilakukan pemerintah untuk mengurangi angka kemiskinan tersebut. Namun dalam konteks ini, perlulah kiranya kita umat Islam merefleksikan bagaimana memainkan peranan zakat sebagai salah satu media dalam rangka pembebasan atau pengentasan kemiskinan tadi.

Prioritas dalam Mustahik Zakat

Sejauh pengamatan penulis, delapan golongan pihak penerima zakat (mustahik), yang telah disebut dalam Al-Quran (Lihat QS. At-Taubah: 60) , yang layak dimasukkan dalam skala prioritas adalah tiga golongan, yaitu faqir, miskin dan sabilillah—tentu saja, sekali lagi, dengan tidak menafikan keberadaan golongan yang lain. Miskin adalah orang yang memiliki harta (tidak termasuk tempat tinggal dan pakaian) dan atau pekerjaan tetap, namun hanya bisa memenuhi setengah atau lebih dari kebutuhan pokoknya. Sementara yang tergolong faqir adalah orang yang kepemilikan harta dan pekerjaannya sebagaimana terdefinisikan dalam golongan miskin, dan atau malah tidak memiliki sama sekali, di mana hal itu hanya mencukupi kurang dari setengah kebutuhannya. Untuk lebih jelasnya dapat digambarkan jika kebutuhan pokok dinominalkan dengan 100 ribu rupiah, maka golongan miskin adalah yang penghasilannya berkisar antara 50 ribu hingga 90 ribu, atau tidak mencapai 100 ribu. Sedangkan golongan faqir adalah mereka yang penghasilannya kurang dari 50 ribu.

Adapun sabilillah termasuk di dalamnya adalah pembangunan atau perbaikan sarana-sarana sosial dan keagamaan yang manfaatnya benar-benar bisa dirasakan oleh masyarakat luas. Yang termasuk sabilillah dapat dicontohkan dengan pembangunan sekolah atau lembaga-lembaga pendidikan sejenisnya, perbaikan masjid berikut sarana pendidikan keagamaan umpamanya pelengkapan fasilitas Taman Pendidikan Al-Quran (TPA), pengadaan perpustakaan (masjid), dan sebagainya.

Reorientasi Paradigma Pendistribusian Zakat

Manusia memiliki kadar survivalitas berbeda-beda dalam usaha mengubah nasibnya. Mereka yang dasarnya malas, diberi motivasi dan suntikan dana termasuk di dalamnya zakat pun tetap malas dikarenakan kebudayaan masyarakat setempat yang tidak mau maju atau tidak mau mencapai kemajuan. Mungkin kategori ini yang diberi zakat konsumtif dan tentu jumlahnya sekadar cukup untuk dikonsumsi beberapa hari. Mereka yang berkeinginan kuat mengubah nasibnya diberi zakat produktif-kreatif. Jika perlu ada manajemen pendampingan agar usahanya berjalan baik. Dengan demikian, dapat ditargetkan dalam periode atau satuan waktu tertentu ia telah meningkat posisinya dari mustahik menjadi muzaki.

Jika cara ini biasa dilakukan, maka tahun depan datanya sudah pindah dan dimasukkan ke data muzaki. Jika setiap tahun di setiap kabupaten/kota saja pengentasan masyarakat miskin bisa di-setting hingga 500 sampai 1.000 orang miskin menjadi muzaki, secara sistematis angka kemiskinan dapat dikurangi. Pengentasan satu orang miskin bermultiefek atau setidaknya efek ganda pada keluarga mereka. Jika 1.000 orang per kabupaten/kota dientaskan, berarti 3.000 orang telah naik peringkat dengan asumsi setiap orang menanggung dua orang keluarganya. Berarti 3.000 x 35 = 105.000 orang per tahun se-Jawa Barat. Angka ini hanya perumpamaan kecil. Penulis yakin potensi zakat di setiap kabupaten/kota cukup besar dan dapat mengentaskan lebih dari 1000 orang.

Potensis zakat perlu dimanfaatkan secara maksimal. Pada konteks yang lebih lebar, pemanfaatan zakat dapat dilakukan dengan memperhatikan kebutuhan nyata yang mengarah pada peningkatan kesejahteraan dan pembebasan diri dari kemiskinan. Untuk itu dapat diupayakan dengan pendistribusian zakat produktif-kreatif, misalnya, memberi modal kerja sesuai dengan keahlian penerima zakat. Pada gilirannya, mereka yang kali ini tercatat sebagai penerima zakat kelak sudah berubah sebagai pembayar zakat.

Koordinasi dan Sinergitas Antar LAZ-BAZ

Persoalannya sekarang, dari mana memulai UU No 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat dan Kepmenag No 581/1999 setelah diberikan rambu-rambu yang cukup detail? Di Departemen Agama telah ada struktur baru. Di tingkat pusat ada direktur pengembangan zakat dan wakaf. Di kantor wilayah (provinsi) ada kepala bidang zakat dan wakaf, tapi digabung dengan bidang haji. Di tingkat kandepag kota atau kabupaten ada kepala seksi yang menangani zakat.

Harapannya, dari para pejabat inilah koordinasi pengelolaan zakat dioptimalkan kinerjanya. Karena secara teknis operasional BAZ atau LAZ yang menangani pengelolaan zakat, BAZ dan LAZ di berbagai tingkatan perlu dioptimalkan kinerjanya. Selain itu dengan koordinasi secara terjadwal dan rutin antar-BAZ dan LAZ dengan Depag, tumpang tindih di dalam pendistribusian zakat dapat dihindari dan efektivitas sasaran zakat dapat dipantau sejak dini. Jika demikian halnya, persoalan utamanya mengapa zakat yang boleh jadi setiap tahun telah dikeluarkan belum mampu secara signifikan mengatasi angka kemiskinan? Boleh jadi terletak pada kesalahan manajerialnya.

Jika pada masa Abu Bakar sebagai khalifah ada sekelompok warganya yang enggan menyerahkan zakat kemudian diperangi, itu karena dari zakatlah dana untuk fakir miskin dipenuhi. Apalagi saat itu keberadaan Baitul Mal -semacam kas negara- belum mapan. Karena itu, untuk menjawab pertanyaan pada awal tulisan ini, selama zakat dikelola secara ”amatiran” dan cenderung konsumtif-karitatif, selama itu pula tujuan disyariatkannya zakat untuk merubah mustahik menjadi muzaki dan terbebas dari kemiskinan tidak pernah berhasil secara efektif. Implikasinya, fungsi sosial zakat tidak terealisasi, bahkan mungkin justru akan menyuburkan tumbuhnya sifat menggantungkan diri sebagian saudara-saudara kita yang kekurangan.

Penutup

Harapan zakat sebagai salah satu alternatif dalam pembebasan kemiskinan tidaklah semudah membalikan tangan. Selain dari segi metode pendistribusiannya atau pendayagunaannnya yang perlu direvitalisasi, kerjasama berbagai pihak, baik pemerintah (melalui UU ZISWAF), BAZ-LAZ ataupun umat Islam yang tergabung dalam Lembaga-lembaga Amil Zakat agar gerakan zakat yang berlangsung berjalan sinergis sangtlah diperlukan. Tanpa hal itu semua, mungkin zakat sebagai salah satu alternatif dalam pembebasan kemiskinan merupakan mimpi disiang bolong dan hal itu akan mengkebiri fungsi sosial dari ibadah zakat.

Wallahu’ alam bish-shawab

Welcome 2 blognya DOELL

mencoba sharing....dan nambah wawasan ....moga berguna...!!!

Cari di Blog Ini