pekarangan rumah gw

Rabu, 19 Agustus 2009

Hadits-hadits dhåif yang tersebar di bulan Råmadhån

Kami (Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly dan Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid Hafizhåhumullåh) menilai perlunya dibawakan pasal ini pada kitab kami (yakni Kitab Sifat Shaum Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam Fii Ramadhan), karena adanya sesuatu yang teramat penting yang tidak diragukan lagi sebagai peringatan bagi manusia, dan sebagai penegasan terhadap kebenaran, maka kami katakan :

Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menetapkan sunnah Nabi secara adil, (untuk) memusnahkan penyimpangan orang-orang sesat dari sunnah, dan mematahkan ta’wilan para pendusta dari sunnah dan menyingkap kepalsuan para pemalsu sunnah.

Sejak bertahun-tahun sunnah telah tercampur dengan hadits-hadits yang dhaif, dusta, diada-adakan atau lainnya. Hal ini telah diterangkan oleh para imam terdahulu dan ulama salaf dengan penjelasan dan keterangan yang sempurna.

Orang yang melihat dunia para penulis dan para pemberi nasehat akan melihat bahwa mereka -kecuali yang diberi rahmat oleh Allah- tidak memperdulikan masalah yang mulia ini walau sedikit perhatianpun walaupun banyak sumber ilmu yang memuat keterangan shahih dan menyingkap yang bathil.

Maksud kami bukan membahas dengan detail masalah ini, serta pengaruh yang akan terjadi pada ilmu dan manusia, tapi akan kita cukupkan sebagian contoh yang baru masuk dan masyhur dikalangan manusia dengan sangat masyhurnya, hingga tidaklah engkau membaca makalah atau mendengar nasehat kecuali hadits-hadits ini -sangat disesalkan- menduduki kedudukan tinggi. (Ini semua) sebagai pengamalan hadits : “Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat …” [Riwayat Bukhari 6/361], dan sabda beliau : “Agama itu nasehat” [Riwayat Muslim no. 55]

Maka kami katakan wabillahi taufik :

Sesungguhnya hadits-hadits yang tersebar di masyarakat banyak sekali, hingga mereka hampir tidak pernah menyebutkan hadits shahih -walau banyak-yang bisa menghentikan mereka dari menyebut hadits dhaif.

Semoga Allah merahmati Al-Imam Abdullah bin Mubarak yang mengatakan : “(Menyebutkan) hadits shahih itu menyibukkan (diri) dari yang dhaifnya”.

Jadikanlah Imam ini sebagai suri tauladan kita, jadikanlah ilmu shahih yang telah tersaring sebagai jalan (hidup kita).

Dan (yang termasuk) dari hadits-hadits yang tersebar digunakan (sebagai dalil) di kalangan manusia di bulan Ramadhan, diantaranya.

Pertama

“Artinya : Kalaulah seandainya kaum muslimin tahu apa yang ada di dalam Ramadhan, niscaya umatku akan berangan-angan agar satu tahun Ramadhan seluruhnya. Sesungguhnya surga dihiasi untuk Ramadhan dari awal tahun kepada tahun berikutnya ….” Hingga akhir hadits ini.

Hadits ini diriwayatkan oleh:

- Ibnu Khuzaimah (no.886)
- Ibnul Jauzi di dalam Kitabul Maudhuat (2/188-189)
- Abu Ya’la di dalam Musnad-nya sebagaimana pada Al-Muthalibul ‘Aaliyah (Bab/A-B/tulisan tangan) dari jalan Jabir bin Burdah dari Abu Mas’ud al-Ghifari.

Derajat Hadits

Hadits ini maudhu’ (palsu), penyakitnya pada Jabir bin Ayyub, biografinya ada pada Ibnu Hajar di dalam Lisanul Mizan (2/101) dan beliau berkata : “Mashur dengan kelemahannya”. Juga dinukilkan perkataan Abu Nua’im, ” Dia suka memalsukan hadits”, dan dari Bukhari, berkata, “Mungkarul hadits” dan dari An-Nasa’i, “Matruk” (ditinggalkan) haditsnya”.

Komentar ulama terhadap hadits diatas

Ibnul Jauzi menghukumi hadits ini sebagai hadits palsu, dan Ibnu Khuzaimah berkata serta meriwayatkannya, “Jika haditsnya shahih, karena dalam hatiku ada keraguan pada Jarir bin Ayyub Al-Bajali”.

Kedua

“Artinya :Wahai manusia, sungguh bulan yang agung telah datang (menaungi) kalian, bulan yang di dalamnya terdapat suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan, Allah menjadikan puasa (pada bulan itu) sebagai satu kewajiban dan menjadikan shalat malamnya sebagai amalan sunnah. Barangsiapa yang mendekatkan diri pada bulan tersebut dengan (mengharapkan) suatu kebaikan, maka sama (nilainya) dengan menunaikan perkara yang wajib pada bulan yang lain …. Inilah bulan yang awalnya adalah rahmat, pertengahannya ampunan dan akhirnya adalah merupakan pembebasan dari api neraka ….” sampai selesai.

Hadits ini juga panjang, kami cukupkan dengan membawakan perkataan ulama yang paling masyhur.

Hadits ini diriwayatkan oleh:

- Ibnu Khuzaimah (1887)
- Al-Muhamili di dalam Amalinya (293)
- Al-Asbahani dalam At-Targhib (q/178, b/tulisan tangan) dari jalan Ali bin Zaid Jad’an dari Sa’id bin Al-Musayyib dari Salman.

Derajat Hadits:

Hadits ini sanadnya Dhaif, karena lemahnya Ali bin Zaid.

Komentar ulama terhadap hadits diatas:

- Berkata Ibnu Sa’ad, “Di dalamnya ada kelemahan dan jangang berhujjah dengannya”,
- Berkata Imam Ahmad bin Hanbal, “Tidak kuat”,
- Berkata Ibnu Ma’in. Dha’if
- Berkata Ibnu Abi Khaitsamah, “Lemah di segala penjuru”,
- Berkata Ibnu Khuzaimah, “Jangan berhujjah dengan hadits ini, karena jelek hafalannya.”

[Demikian di dalam Tahdzibut Tahdzib [7/322-323]]

- Berkata Ibnu Hajar di dalam Al-Athraf, Sumbernya pada Ali bin Zaid bin Jad’an, dan dia lemah, sebagaimana hal ini dinukilkan oleh Imam As-Suyuthi di dalam Jami’ul Jawami (no. 23714 -tertib urutannya).
- Ibnu Abi Hatim menukilkan dari bapaknya di dalam Illalul Hadits (I/249), “hadits yang Mungkar”

Ketiga

“Artinya : Berpuasalah, niscaya kalian akan sehat”

Hadits tersebut merupakan potongan dari hadits riwayat Ibnu Adi di dalam Al-Kamil (7/2521) dari jalan Nahsyal bin Sa’id, dari Ad-Dhahak dari Ibu Abbas. Nashsyal (termasuk) yang ditinggal (karena) dia pendusta dan Ad-Dhahhak tidak mendengar dari Ibnu Abbas.

Hadits diatas diriwayatkan oleh:

- At-Thabrani di dalam Al-Ausath (1/q 69/Al-Majma’ul Bahrain)
- Abu Nu’aim di dalam At-Thibun Nabawiy dari jalan Muhammad bin Sulaiman bin Abi Dawud, dari Zuhair bin Muhammad, dari Suhail bin Abi Shalih dari Abu Hurairah.

Derajat hadits:

Dan sanad hadits ini dhåif.

Komentar ulama terhadap hadits diatas:

- Berkata Abu Bakar Al-Atsram, “Aku mendengar Imam Ahmad -dan beliau menyebutkan riwayat orang-orang Syam dari Zuhair bin Muhammad- berkata, “Mereka meriwayatkan darinya (Zuhair,-pent) beberapa hadits mereka (orang-orang Syam, -pent) yang dhoif itu”.

- Ibnu Abi Hatim berkata, “Hafalannya jelek dan hadits dia dari Syam lebih mungkar daripada haditsnya (yang berasal) dari Irak, karena jeleknya hafalan dia”. Al-Ajalaiy berkata. “Hadits ini tidak membuatku kagum”, demikianlah yang terdapat pada Tahdzibul Kamal (9/417).

- Aku (Tidak jelas apakah yang mengatakan ini apakah Syaikh Salim Ied Al-Hilaly atau Syaikh Ali Hasan Al-Halaby) katakan : Dan Muhammad bin Sulaiman Syaami, biografinya (disebutkan) pada Tarikh Damasqus (15/q 386-tulisan tangan) maka riwayatnya dari Zuhair sebagaimana di naskhan oleh para Imam adalah mungkar, dan hadits ini darinya.

Keempat

“Artinya : Barangsiapa yang berbuka puasa satu hari pada bulan Ramadhan tanpa ada sebab dan tidak pula karena sakit maka puasa satu tahun pun tidak akan dapat mencukupinya walaupun ia berpuasa pada satu tahun penuh”

Hadits diriwayatkan oleh:

- Bukhari dengan mu’allaq dalam shahih-nya (4/160-Fathul Bari) tanpa sanad.
- Ibnu Khuzaimah telah memalukan hadits tersebut di dalam Shahih-nya (19870),
- At-Tirmidzi (723),
- Abu Dawud (2397),
- Ibnu Majah (1672)
- Nasa’i di dalam Al-Kubra sebagaimana pada Tuhfatul Asyraaf (10/373),
- Baihaqi (4/228)
- dan Ibnu Hajjar dalam Taghliqut Ta’liq (3/170) dari jalan Abil Muthawwas dari bapaknya dari Abu Hurairah.

Derajat hadits

Ibnu Khuzaimah berkata setelah meriwayatkannya :Jika khabarnya shahih, karena aku tidak mengenal Abil Muthawwas dan tidak pula bapaknya, hingga hadits ini dhaif juga.

Komentar ulama terhadap hadits diatas:

Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari (4/161) : “Dalam hadits ini ada perselisihan tentang Hubaib bin Abi Tsabit dengan perselisihan yang banyak, hingga kesimpulannya ada tiga penyakit : idhthirah (goncang), tidak diketahui keadaan Abil Muthawwas dan diragukan pendengaran bapak beliau dari Abu Hurairah”.

Wa ba’du : Inilah empat hadits yang didhaifkan oleh para ulama dan di lemahkan oleh para Imam, namun walaupun demikian kita (sering) mendengar dan membacanya pada hari-hari di bulan Ramadhan yang diberkahi khususnya dan selain pada bulan itu pada umumnya.

[sampai disini kutipan dari Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly dan Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid Hafizhåhumullåh]

[berikut kutipan dari berbagai sumber, lihat maraji']

Kelima

“(yang artinya) Barangsiapa yang berbuka puasa satu hari pada bulan Ramadhan tanpa ada sebab dan tidak pula karena sakit maka puasa satu tahun pun tidak akan dapat mencukupinya walaupun ia berpuasa pada satu tahun penuh”

Hadits diriwayatkan oleh:

-Bukhari dengan mu’alaq dalam shahih-nya tanpa sanad [Fathul Bari, jld. 4 hlm. 160]
- Ibnu Khuzaimah, no.19870
-At-Tirmidzi, no. 723
-Abu Dawud, no. 2397
-Ibn Majah, no. 1672
-Nasa’i di dalam Al-Kubra [Tuhfatul Asyraaf, jld.10 hlm.373]
-Baihaqi (4/228)
-Ibnu Hajar dari jalan Abil Muthawwas dari bapanya dari Abu Hurairah.[Taghliqut Ta'liq, jld.3 hlm.170]

Derajat hadits: Hadits ini dhaif.

Kecacatan Perawi[1]:

- Hubaib bin Abi Tsabit
- Abil Muthawwas dan bapaknya.

Komentar terhadap perawi-perawi tersebut:

- “Dalam hadits ini ada perselisihan tentang Hubaib bin Abi Tsabit dengan perselisihan yang banyak, hingga kesimpulannya ada tiga penyakit : idhthirah (goncang), tidak diketahui keadaan Abil Muthawwas dan diragukan pendengaran bapak beliau dari Abu Hurairah”.[Ibn Hajar, Fathul Bari jld.4 hlm.161]

- “Jika khabarnya shahih, karena aku tidak mengenal Abil Muthawwas dan tidak pula bapaknya, hingga hadits ini dhaif juga.”[Ibnu Khuzaimah]

Keenam

“(Yang artinya) Tidur orang yang berpuasa adalah ibadah, diamnya adalah tasbih, amalnya dilipatgandakan (pahalanya), doanya dikabulkan dan dosanya diampuni”.

Hadith diriwayatkan oleh:

- al-imam al-Baihaqi [Syu’ab al-Imam]
- al-Suyuti [al-Jami’ al-Shaghir 1404/1981, 2/678]

Derajat hadits: Hadith dhaif [al-Imam al-Suyuti]

Para ulama’ tahqiq yang lain yang lebih cenderung mengatakan bahwa hadits tersebut adalah hadits maudhu’.

Kecacatan Perawi:

- Ma’ruf bin Hisan
- Sulaiman bin Amr al-Nakha’i

Komentar terhadap perawi-perawi tersebut:

-”Sulaiman bin Amr al-Nakha’i adalah pemalsu hadis” [Imam Ahmad Bin Hanbal]
-“Sulaiman bin Amr al-Nakha’i dikenali sebagai pemalsu hadis” [Yahya Ibn Ma'in]
-“Sulaiman bin Amr adalah manusia yang paling dusta di dunia ini”. [Yahya Ibn Ma'in]
-“Siapa pun tidak halal meriwayatkan hadis dari Sulaiman bin Amr”.[Yazid Bin Harun]
-“Sulaiman bin Amr adalah matruk (tertolak)”.[Imam Bukhari]
- “Para ulama’ sepakat bahawa Sulaiman bin Amr adalah seorang pemalsu hadis”.[Ibn Adi]
- “Sulaiman bin Amr al-Nakha’i adalah orang Bagdhad, yang secara lahiriahnya, dia adalah seorang yang salih, tetapi ia memalsukan hadis”.[Ibn Hibban]
- “Sulaiman bin Amr adalah pemalsu hadis” [Imam al-Hakim]

Ketujuh

(Do’a berbuka puasa yang populer di Indonesia)

Ada tiga hadits:

1. “Dari Ibnu Abbas, ia berkata : Adalah Nabi shållallåhu ‘alaihi wa sallam apabila berbuka (puasa) beliau mengucapkan :

“Allahumma Laka Shumna wa ala Rizqika Aftharna, Allahumma Taqabbal Minna Innaka Antas Samiul ‘Alim (artinya : Ya Allah ! untuk-Mu aku berpuasa dan atas rizkqi dari-Mu kami berbuka. Ya Allah ! Terimalah amal-amal kami, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar, Maha Mengetahui).

Hadits diatas diriwayatkan oleh:

- Daruqutni di kitab Sunannya,
- Ibnu Sunni di kitabnya ‘Amal Yaum wa-Lailah No. 473. Thabrani di kitabnya Mu’jamul Kabir

Derajat hadits: sangat Lemah/Dloif

Kecacatan Råwi:

- Ada seorang rawi yang bernama : Abdul Malik bin Harun bin ‘Antarah. Dia ini rawi yang sangat lemah.

- Di sanad hadits ini juga ada bapaknya Abdul Malik yaitu : Harun bin ‘Antarah. Dia ini rawi yang diperselisihkan oleh para ulama ahli hadits. Imam Daruquthni telah melemahkannya.

- Sedangkan Imam Ibnu Hibban telah berkata : munkarul hadits (orang yang diingkari haditsnya), sama sekali tidak boleh berhujjah dengannya.

Komentar ulama terhadap hadits dan perawi-perawinya:

1. Kata Imam Ahmad bin Hambal : Abdul Malik Dlo’if
2. Kata Imam Yahya : Kadzdzab (pendusta)
3. Kata Imam Ibnu Hibban : pemalsu hadits
4. Kata Imam Dzahabi : di dituduh pemalsu hadits
5. Kata Imam Abu Hatim : Matruk (orang yang ditinggalkan riwayatnya)
6. Kata Imam Sa’dy : Dajjal, pendusta.

Hadits ini telah dilemahkan oleh Imam Ibnul Qoyyim, Ibnu Hajar, Al-Haitsami dan Al-Albani, dll.
Periksalah kitab-kitab berikut :

1. Mizanul I’tidal 2/666
2. Majmau Zawaid 3/156 oleh Imam Haitsami
3. Zaadul Ma’ad di kitab Shiam/Puasa oleh Imam Ibnul Qoyyim
4. Irwaul Gholil 4/36-39 oleh Muhaddist Muhammad Nashiruddin Al-Albani.

2. “Dari Anas, ia berkata : Adalah Nabi shållallåhu ‘alaihi wa sallam : Apabila berbuka beliau mengucapkan :

“Bismillah, Allahumma Laka Shumtu Wa Alla Rizqika Aftartu (artinya : Dengan nama Allah, Ya Allah karena-Mu aku berbuka puasa dan atas rizqi dari-Mu aku berbuka).

Hadits diatas diriwayatkan oleh:

- Thabrani di kitabnya Mu’jam Shogir hal 189 dan Mu’jam Auwshath)

Derajat hadits: Lemah/Dlo’if

Kecatatan rawi dan komentar ulama:

A. Di sanad hadist ini ada Ismail bin Amr Al-Bajaly. Dia seorang rawi yang lemah, (adapun komentar ulama):

- Imam Dzahabi mengatakan di kitabnya Adl-Dhu’afa : Bukan hanya satu orang saja yang telah melemahkannya.
- Kata Imam Ibnu ‘Ady : Ia menceritakan hadits-hadits yang tidak boleh diturut.
- Kata Imam Abu Hatim dan Daruquthni : Lemah !
- Sepengetahuan saya (Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat) : Dia inilah yang meriwayatkan hadits lemah bahwa imam tidak boleh adzan (lihat : Mizanul I’tidal 1/239).

B. Di sanad ini juga ada Dawud bin Az-Zibriqaan, (adapun komentar ulama):

- Kata Muhammad Nashiruddin Al-Albani : Dia ini lebih jelek dari Ismail bin Amr Al-Bajaly.
- Kata Imam Abu Dawud, Abu Zur’ah dan Ibnu Hajar : Matruk.
- Kata Imam Ibnu ‘Ady : Umumnya apa yang ia riwayatkan tidak boleh diturut (lihat Mizanul I’tidal 2/7)

3. ” (yang aritinya) Dari Muadz bin Zuhrah, bahwasanya telah sampai kepadanya, sesungguhnya Nabi Shållallåhu ‘alaihi wa sallam. Apabila berbuka (puasa) beliau mengucapkan : Allahumma Laka Sumtu wa ‘Alaa Rizqika Aftartu.”

(Lafadz dan arti bacaan di hadits ini sama dengan riwayat/hadits yang ke 2 kecuali awalnya tidak pakai Bismillah.)

Hadits diatas diriwayatkan oleh:

- Abu Dawud No. 2358
- Baihaqi 4/239
- Ibnu Abi Syaibah dan Ibnu Suni)

Derajat hadits: MURSAL[2]

Kecacatan Råwi

- “Mu’adz bin (Abi) Zur’ah seorang Tabi’in bukan shahabat Nabi Shållallåhu ‘alaihi wa sallam

- “Selain itu, Mu’adz bin Abi Zuhrah ini seorang rawi yang MAJHUL. Tidak ada yang meriwayatkan dari padanya kecuali Hushain bin Abdurrahman. Sedang Ibnu Abi Hatim di kitabnya Jarh wat Ta’dil tidak menerangkan tentang celaan dan pujian baginya”.

Kedelapan

“(Artinya) Ya Allah anugerahkan kepada kami keberkahan di (bulan) Rajab dan Sya`ban serta pertemukan kami (dengan) Ramadhan (Hadits Dha’if)

(Dhåif, Lihat, alAdzkaar, oleh anNawawiy; Mizaan alI’tidal, oleh adzDzahabiy; Majma’u azZawaaid, oleh alHaitsamiy, 2/165 dan Dha’if alJami`, oleh alAlbaniy, hadits no. 4395)

Kesembilan

“(Yang artinya) Sekiranya semua hamba mengetahui apa yang terkandung dalam (bulan) Ramadhan sungguh ummat-ku akan berharap (bulan) Ramadhan menjadi setahun penuh” (Hadits Dha’if)

(Dhåif, Lihat, alMaudhuat, oleh Ibnu alJauziy, 2/188; Tanjiih asySyari’ah, oleh alKanaaniy, 2/153; alFawaaid alMajmu’ah, oleh asySyaukaniy, 1/254)

Kesepuluh

“(Yang artinya) Setiap sesuatu (memiliki) pintu, dan pintu ibadah adalah puasa”

Hadist ini dinukil oleh Abi Syuja’ di dalam alFirdaus, no. 4992 dari hadits Abu Darda’ dan menurut Syaikh alAlbaniy hadits ini dhåif di dalam kitabnya adhDha’if, no. 4720)

Kesebelas

“(Yang artinya) Tidurnya seorang yang berpuasa adalah ibadah”

Hadits ini di-dhåifkan oleh al’Iraaqiy di dalam alMughniy, no. 727; dan asSuyuthiy di dalam alJami’ ashShaghir, hal. 188; dan telah membenarkan alMunawiy di dalam alFaidh, no. 9293 dan Syaikh alAlbaniy sepakat dengan keduanya di dalam adhDha`if, no. 5972)

Keduabelas

“(Yang artinya) Puasa adalah separuh dari kesabaran”

Dhåif, Hadits ini diriwayatkan oleh at-Tirmidziy di dalam as-Sunan, no. 3519; dan adDaarimiy, no. 659; Imam Ahmad, di dalam Musnad, 4/260; dan alMarwaziy di dalam Ta’zhimi Qadri ashShalah, no. 432 dari hadits seorang laki-laki dari Bani Sulaim.

[sampai disini kutipan dari berbagai sumber]

Tidak menutup kemungkinan bahwa sebagian hadits-hadits (diatas) ini memiliki makna-makna yang benar, yang sesuai dengan syari’at kita yang lurus baik dari Al-Qur’an maupun Sunnah, akan tetapi (hadits-hadits ini) sendiri tidak boleh kita sandarkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan terlebih lagi -segala puji hanya bagi Allah- umat ini telah Allah khususkan dengan sanad dibandingkan dengan umat-umat yang lain. Dengan sanad dapat diketahui mana hadits yang dapat diterima dan mana yang harus ditolak, membedakan yang shahih dari yang jelek. Ilmu sanad adalah ilmu yang paling rumit, telah benar dan baik orang yang menamainya : “Ucapan yang dinukil dan neraca pembenaran khabar”.

Maraji’

- Kitab Sifat Shaum Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, edisi Indonesia Sipat Puasa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam oleh Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid, terbitan Pustaka Al-Haura, penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata’

- Mohd Hairi Nonchi, Hadis-Hadis Lemah & Palsu Berkaitan Dengan Bulan Ramadhan.

– Drs Abdul Ghani Azmi. Himpunan Hadis Dhaif dan Maudhu’ (Jld. 1)

- Al-Ustadz Arif Syarifuddin, Lc. Hadits-Hadits Dha’if Seputar Ramadhan.

- Al-Ustadz Abdulhakim bin Amir Abdat, Derajad Hadits Tentang Bacaan Waktu Berbuka Puasa, dan Kelemahan Beberapa Hadits Tentang Keutamaan/Fadillah Puasa

- http://ibnyusof.blogspot.com/2008/09/hadithhadishadits-lemah-dhaif-dan-palsu.html

- http://kustoro.wordpress.com/2007/08/29/hadits-dhaif-seputar-ramadhan/

Footenote:

[1] Periwayat, atau penyampai atau pencatat atau pembawa hadits
[2[ Mursal maksudnya, dalam riwayat tersebut, seorang tabi’in (orang yang hidup pada generasi setelah shåhabat) meriwayatkan langsung dari Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam, (baik itu ucapan atau perbuatan) beliau tanpa melalui perantara shahabat

Amalan Khusus Menyambut Bulan Råmadhån

Seorang ulama yang pernah menjabat sebagai ketua Al Lajnah Ad Da-imah Lil Buhuts wal Ifta’ (Komisi Fatwa di Saudi Arabia) yaitu Syaikh ‘Abdul Aziz bin ‘Abdillah bin Baz pernah ditanya:

“Apakah ada amalan-amalan khusus yang disyariatkan untuk menyambut bulan Ramadhan?”

Syaikh –rahimahullah- menjawab:

“Bulan Ramadhan adalah bulan yang paling utama dalam setahun. Karena pada bulan tersebut Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan amalan puasa sebagai suatu kewajiban dan menjadikannya sebagai salah satu rukun Islam yaitu rukun Islam yang keempat. Umat islam pada bulan tersebut disyariatkan untuk menghidupkannya dengan berbagai amalan.

Mengenai wajibnya puasa Ramadhan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

بُنِىَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ ، وَحَجِّ البَيْتِ

”Islam dibangun di atas lima perkara: persaksian bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya, menegakkan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan menunaikan haji ke Baitullah.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari no. 8 dalam Al Iman, Bab “Islam dibangun atas lima perkara”, dan Muslim no. 16 dalam Al Imam, Bab “Rukun-rukun Islam”)

Nabi ‘alaihimush shalaatu was salaam bersabda,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa melakukan puasa di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap ganjaran dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari no. 2014 dalam Shalat Tarawih, Bab “Keutamaan Lailatul Qadr”, dan Muslim no. 760 dalam Shalat Musafir dan Qasharnya, Bab “Motivasi Qiyam Ramadhan”)

Aku tidak mengetahui ada amalan tertentu untuk menyambut bulan Ramadhan selain seorang muslim menyambutnya dengan bergembira, senang dan penuh suka cita serta bersyukur kepada Allah karena sudah berjumpa kembali dengan bulan Ramadhan. Semoga Allah memberi taufik dan menjadikan kita termasuk orang yang menghidupkan Ramadhan dengan berlomba-lomba dalam melakukan amalan shalih.

Berjumpa lagi dengan bulan Ramadhan sungguh merupakan nikmat besar dari Allah. OIeh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa memberikan kabar gembira kepada para sahabat karena datangnya bulan ini. Beliau menjelaskan keutamaan-keutamaan bulan Ramadhan dan janji-janji indah berupa pahala yang melimpah bagi orang yang berpuasa dan menghidupkannya.

Disyariatkan bagi seorang muslim untuk menyambut bulan Ramadhan yang mulia dengan melakukan taubat nashuhah (taubat yang sesungguhnya), mempersiapkan diri dalam puasa dan menghidupkan bulan tersebut dengan niat yang tulus dan tekad yang murni.”

[Pertanyaan di Majalah Ad Da’wah, 1284, 5/11/1411 H. Sumber : Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 15/9-10]

***
Demikian penjelasan dari Syaikh Ibnu Baz -rahimahullah-. Dari penjelasan singkat di atas dapat kita ambil pelajaran bahwa tidak ada amalan-amalan khusus untuk menyambut bulan Ramadhan selain bergembira dalam menyambutnya, melakukan taubat nashuhah, dan melakukan persiapan untuk berpuasa serta bertekad menghidupkan bulan tersebut.

Oleh karena itu, tidaklah tepat ada yang meyakini bahwa menjelang bulan Ramadhan adalah waktu utama untuk menziarahi kubur orang tua atau kerabat (yang dikenal dengan “nyadran”). Kita boleh setiap saat melakukan ziarah kubur agar hati kita semakin lembut karena mengingat kematian.

Namun masalahnya adalah jika seseorang mengkhususkan ziarah kubur pada waktu tertentu dan meyakini bahwa menjelang Ramadhan adalah waktu utama untuk nyadran atau nyekar. Ini sungguh suatu kekeliruan karena tidak ada dasar dari ajaran Islam yang menuntunkan hal ini.

Juga tidaklah tepat amalan sebagian orang yang menyambut bulan Ramadhan dengan mandi besar terlebih dahulu. Amalan seperti ini juga tidak ada tuntunannya sama sekali dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lebih parahnya lagi mandi semacam ini (yang dikenal dengan “padusan”) ada juga yang melakukannya campur baur laki-laki dan perempuan dalam satu tempat pemandian. Ini sungguh merupakan kesalahan yang besar karena tidak mengindahkan aturan Islam. Bagaimana mungkin Ramadhan disambut dengan perbuatan yang bisa mendatangkan murka Allah?!

Begitu pula tidaklah tepat menjelang Ramadhan dikhususkan untuk saling maaf memaafkan melalui ucapan langsung, SMS, email dan lain sebagainya. Kita boleh saja maaf memaafkan, namun setiap saat dan bukan dikhususkan hanya pada waktu menjelang Ramadhan. Jika seseorang mengkhususkan untuk menyambut bulan Ramadhan, ini adalah sesuatu yang tidak ada tuntunannya dalam ajaran Islam.

Semoga dengan bertambahnya ilmu, kita semakin baik dalam beramal. Semoga Allah selalu memberikan kita ilmu yang bermanfaat, memberikan kita rizki yang thoyib dan memberi kita petunjuk untuk beramal sesuai tuntunan.

***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel http://rumaysho.com

Perbedaan antara Ikhtilaf (perbedaan) dan Iftiroq (perpecahan)



Dengan kehendak dan ilmu-Nya, Alloh menciptakan manusia berbeda-beda. Berbeda bahasa, warna kulit, suku bangsa, corak budaya dan sebagainya. Namun Alloh mempersatukan mereka semua di dalam agama-Nya yang satu, ISLAM. Alloh berfirman, “Sesungguhnya agama (yang diridhoi) di sisi Alloh adalah Islam.” (QS. Ali Imron: 19)

Namun dengan kehendak dan hikmah-Nya pula, Alloh telah mentakdirkan umat Islam ini berpecah-belah sebagaimana umat terdahulu (ahlul kitab) telah berpecah-belah. Alloh berfirman, “Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. dan untuk Itulah Alloh menciptakan mereka.” (QS. Hud: 118-119). Manusia senantiasa berselisih pendapat.

Lalu apakah setiap perselisihan pendapat itu dilarang? Apakah setiap perbedaan pendapat akan membawa kepada perpecahan? Ulasan berikut ini, kiranya dapat memberikan sedikit gambaran.

Ikhtilaf Tidak Sama Dengan Iftiroq

Dari segi lafadz, ikhtilaf (perbedaan) lebih umum daripada iftiroq (perpecahan). Ini hendaknya dipahami terlebih dahulu. Oleh karena itu, tidak semua perbedaan merupakan perpecahan. Karena ada perbedaan yang diperbolehkan dan ada yang tidak boleh berbeda. Adapun perpecahan sama sekali terlarang meskipun merupakan sunnatullah. Alloh berfirman, “Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Alloh, yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan, tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (QS. Ar Rum: 31-32)

Ikhtilaf yang diperbolehkan itu berasal dari ijtihad dan niat yang baik. Yaitu berniat sungguh-sungguh mencari kebenaran. Jika pendapatnya benar maka mendapat dua pahala. Jika ternyata salah, maka tetap mendapatkan satu pahala. Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika seorang hakim memutuskan suatu hukum, kemudian berijtihad maka jika benar ia mendapat dua pahala. Namun jika salah, baginya satu pahala.” (HR. Al Bukhori). Sementara iftiroq tidak berasal dari kesungguhan dalam mencari kebenaran (bahkan sebaliknya ‘pembenaran’), tetapi muncul dari dorongan hawa nafsu.

Kemudian, ikhtilaf/khilafiyah itu berasal dari konsekuensi memahami dalil-dalil yang kesemuanya merupakan sunnah. Sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Al ‘Utsaimin rohimahulloh, “Orang yang menyelisihi pendapat kami karena konsekuensi dalil yang ia pahami, pada hakikatnya tidak berselisih dengan kami. Bahkan bersepakat dengan kami. Karena kamipun menyelisihi mereka karena konsekuensi dalil yang kami pahami.” (Al Khilaf bainal Ulama). Sedangkan iftiroq itu berasal dari bid’ah (lawan sunnah). Syaikhul Islam rohimahulloh berkata, “Bid’ah itu disertai dengan perpecahan, sedangkan sunnah disertai dengan persatuan.” (Sittu Duror, Abdul Malik Ramadhani).

Perpecahan tidak terlepas dari ancaman dan siksa serta kebinasaan. Alloh berfirman, “Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka Itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” (QS. Ali Imron: 105). Tidak demikian halnya dengan ikhtilaf walau bagaimanapun bentuk ikhtilaf yang terjadi di antara kaum muslimin. Baik akibat perbedaan dalam masalah-masalah ijtihadiyah, atau akibat mengambil pendapat keliru yang masih bisa ditolerir, atau memilih pendapat yang salah karena ketidaktahuannya terhadap dalil-dalil sementara belum sampai penjelasan kepadanya, atau karena dipaksa memilih pendapat yang salah (tekanan penguasa), atau akibat kesalahan takwil/tafsir.

Contoh: Perselisihan antara Ali bin Abi Tholib dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan -rodhiyallohu ‘anhuma-. Mereka berselisih karena perbedaan ijtihad. Mereka pantas dan layak untuk berijtihad, karena mereka adalah para mujtahid dari kalangan sahabat Nabi -generasi terbaik umat ini-. Kalaupun di antara mereka ternyata ijtihadnya keliru, maka pihak yang ijtihadnya keliru tidak boleh dicela.

Sebagaimana dijelaskan para ulama, Ali bin Abi Tholib memandang bahwa bai’at terhadap khalifah yang baru lebih diutamakan daripada menyelesaikan kasus pembunuhan ‘Utsman bin ‘Affan -rodhiyallohu ‘anhu-. Adapun Mu’awiyah bin Abi Sufyan berpendapat bahwa kasus pembunuhan ‘Utsman harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum berbai’at kepada khalifah yang baru. Walau akhirnya mereka saling berperang, namun tidak ada seorang ulama pun setelahnya yang mencela salah satu dari dua pihak yang bertikai. (Meluruskan Sejarah Islam, Muhammad Mahzum).

Kebenaran Hanya Satu

Alloh berfirman, “Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya kelompok Alloh itu adalah golongan yang beruntung.” (QS. Al Mujadilah: 22). Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketahuilah, bahwasanya umat sebelum kalian dari ahlul kitab telah berpecah-belah menjadi 72 golongan. Dan sungguh umat ini akan berpecah-belah menjadi 73 kelompok; 72 kelompok (terancam) di neraka, 1 kelompok masuk surga. Kelompok itu adalah Al Jama’ah.” (HR. Ahmad, dihasankan oleh Al Hafidz).

Dalam riwayat yang lain, “Semuanya di neraka kecuali satu kelompok! Yaitu kelompok yang aku dan sahabatku berada di atasnya.” (HR. At Tirmidzi, dihasankan oleh Al Albani).

Imam As Syathibi berkata, “Sabda Rosululloh ‘…..kecuali satu kelompok..’ telah menjelaskan dengan sendirinya bahwa kebenaran itu hanya satu, tidak berbilang. Seandainya kebenaran itu bermacam-macam, maka tentunya Rosul tidak akan mengatakan ‘…..kecuali satu kelompok..’.” (Majalah As Sunnah)

Ibnu Baththah rohimahulloh mengatakan, “Generasi pertama (dari umat ini) seluruhnya senantiasa berada di atas jalan yang satu, di atas kata hati yang satu, dan madzhab yang satu (sama). Al Qur’an adalah pegangan mereka. Sunnah Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam adalah imam mereka. Mereka tidak menggunakan berbagai pendapat dan tidak pula bersandar pada hawa nafsu. Mereka senantiasa berada dalam keadaan seperti itu.” (Sittu Duror)

Adapun hadits “Perbedaan di kalangan umatku adalah rahmat” adalah bukan hadits Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam.

Sebagaimana dijelaskan Ibnu Hazm rohimahulloh, “Ini merupakan perkataan yang paling rusak. Karena jika perbedaan adalah rahmat tentunya persatuan merupakan hal yang dibenci. Ini jelas bukan perkataan seorang muslim. Karena kemungkinan hanya dua, bersatu maka dirahmati Alloh atau berselisih sehingga Alloh murka.” (Al Ihkam fi Ushulil Ahkam).

Syaikh Al Albani rohimahulloh berkata, “Hadits ini tidak ada asalnya (anonim).” (Silsilah Hadits-hadits Lemah dan Palsu). Bahkan hadits shohih menyatakan sebaliknya, perselisihan itu malapetaka (keburukan). Ibnu Mas’ud rodhiyallohu ‘anhu berkata, “Sesungguhnya perselisihan itu jelek.” (Shohih, HR. Abu Dawud)

Kiat menghindari perpecahan

Alloh melarang perpecahan walaupun perpecahan itu sendiri merupakan kehendak-Nya. Maka oleh sebab itulah Alloh memberikan jalan keluar dari perpecahan. Alloh memerintahkan supaya berpegang teguh kepada jalan-Nya, yaitu jalan golongan yang selamat (firqoh najiyah) atau kelompok yang mendapat pertolongan (thoifah manshuroh).

Dari Ibnu Mas’ud rodhiyallohu ‘anhu dia berkata, “Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam membuat garis lurus dengan tangannya sambil bersabda, (artinya) ‘Ini jalan Alloh yang lurus.’ Kemudian beliau membuat garis-garis di sebelah kanan dan kiri (garis lurus tersebut) sambil mengatakan, ‘Ini jalan-jalan (menyimpang). Tidaklah setiap jalan melainkan di dalamnya ada syaithon yang menyeru/mengajak ke jalan itu.’ Kemudian beliau membaca firman Alloh, ‘Dan sesungguhnya ini adalah jalan-Ku yang lurus maka ikutilah dia. Dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (lain yang menyimpang), yang memecah-belah kalian dari jalan-Nya. Demikianlah Dia mewasiatkan kepada kalian, mudah-mudahan kalian bertaqwa’.” (Shohih, HR. Ahmad dan An Nasa’i)

Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Artinya: Wajib atas kalian untuk mengikuti sunnahku dan sunnah para khulafa’ur rosyidin yang mendapat petunjuk. Berpegang teguhlah kepadanya dan gigitlah erat-erat dengan gigi gerahammu.” (HR. An Nasai dan At Tirmidzi, hasan shohih)

Dari Hudzaifah Ibnul Yaman Radhiyallahu Ta’ala Anhu, ia berkata : “Manusia bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya kepada beliau tentang keburukan karena khawatir jangan-jangan menimpaku.”

“Maka aku bertanya ; Wahai Rasulullah, sebelumnya kita berada di zaman Jahiliyah dan keburukan, kemudian Allah mendatangkan kebaikan ini. Apakah setelah ini ada keburukan ? Beliau bersabda : ‘Ada’.

Aku bertanya : Apakah setelah keburukan itu akan datang kebaikan ? Beliau bersabda : Ya, akan tetapi didalamnya ada dakhanun. Aku bertanya : Apakah dakhanun itu ?. Beliau menjawab : Suatu kaum yang mensunnahkan selain sunnahku dan memberi petunjuk dengan selain petunjukku. Jika engkau menemui mereka maka ingkarilah.

Aku bertanya : Apakah setelah kebaikan itu ada keburukan ?. Beliau bersabda : Ya, (akan ada) da’i – da’i yang mengajak ke pintu Jahannam. Barangsiapa yang mengijabahinya, maka akan dilemparkan ke dalamnya. Aku bertanya : Wahai Rasulullah, berikan ciri-ciri mereka kepadaku. Beliau bersabda : Mereka mempunyai kulit seperti kita dan berbahasa dengan bahasa kita.

Aku bertanya : Apa yang engkau perintahkan kepadaku jika aku menemuinya ?. Beliau bersabda : Berpegang teguhlah pada Jama’ah Kaum Muslimin dan Imamnya. Aku bertanya : Bagaimana jika tidak ada jama’ah maupun imamnya ? Beliau bersabda : Hindarilah semua firqah itu, walaupun dengan menggigit pokok pohon hingga maut menjemputmu sedangkan engkau dalam keadaan seperti itu”.

(Riwayat Bukhari VI615-616, XIII/35. Muslim XII/135-238 Baghawi dalam Syarh Sunnah XV/14. Ibnu Majah no. 3979, 3981. Hakim IV/432. Abu Dawud no. 4244-4247.Baghawi XV/8-10. Ahmad V/386-387 dan hal. 403-404, 406 dan hal. 391-399).

Macam-macam ikhtilaf

Perpecahan hanya terjadi pada permasalahan prinsipil, yaitu masalah ushuluddin (dasar agama) yang ditetapkan oleh nash yang qath’i (jelas dan tegas), ijma’ atau sesuatu yang telah disepakati sebagai manhaj (metodologi beragama) Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang tidak boleh diperselisihkan. Siapa saja yang menyelisihi masalah di atas, maka ia termasuk orang yang berpecah atau keluar dari Al-Jama’ah (kelompok Rosululloh dan sahabatnya). Adapun selain itu, masih tergolong perkara ikhtilaf. Para ulama membagi ikhtilaf menjadi 2, yaitu:

1. Ikhtilaf/khilafiyah yang diperbolehkan.

Yang termasuk ikhtilaf jenis ini adalah setiap permasalahan dalam agama ini yang diperselisihkan sejak dahulu oleh para ulama mujtahid dari kalangan sahabat Nabi, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in, serta para imam ahlul hadits dan imam kaum muslimin. Sehingga dengan demikian, seorang muslim tidak boleh sembarangan dan serampangan mengklaim bahwa suatu perkara agama merupakan perkara khilafiyah. Hendaknya melihat kepada para imam terdahulu (baca: assalafus sholih), apakah mereka berbeda pendapat di dalamnya atau tidak. Contoh: perbedaan pendapat tentang teknis turun ketika hendak sujud dalam sholat. Apakah tangan atau lutut terlebih dahulu? Ada ulama yang berpendapat tangan dulu baru lutut, ada juga yang sebaliknya. Kedua-duanya berdasarkan dalil yang shohih. Maka ini termasuk perbedaan-perbedaan yang dapat ditolerir.

Termasuk juga ikhtilaf jenis ini adalah ikhtilaf tanawwu’. Yaitu perbedaan yang sifatnya variatif. Terkadang Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam melakukan yang satu, terkadang melakukan yang lain. Pada hakikatnya ini bukan ikhtilaf, namun ini merupakan sunnah. Contohnya: perbedaan bacaan do’a iftitah. Terkadang Nabi membaca dengan satu jenis bacaan, terkadang membaca dengan bacaan yang lain. Demikian pula dengan bacaan tasyahud, jumlah takbir jenazah, takbir sholat ‘id, dan lain-lain. Sehingga apabila seorang muslim dengan muslim lainnya bertengkar hanya gara-gara masalah seperti ini (ikhtilaf tanawwu’), lalu satu sama lain saling melancarkan aksi tahdzir (peringatan) dan hajr (pengucilan) maka inilah yang disebut dengan ta’ashub (fanatik) dan ini terlarang.

2. Ikhtilaf yang tercela.

Yang termasuk ikhtilaf jenis ini adalah setiap ikhtilaf yang dapat membawa kepada perpecahan dan permusuhan serta kebencian. Ini semua dilarang oleh syari’at. Misal: perbedaan madzhab di sebuah masyarakat menyebabkan masjid mereka memiliki mihrab sebanyak madzhab yang ada dalam masyarakat tersebut. Ini jelas bukan sekedar perbedaan, tapi bid’ah dan perpecahan yang nyata. (‘Ilmu Ushul Bida’, Syaikh Ali Hasan).

Adab-adab khilafiyah

Yang menjadi hujjah dalam berbeda pendapat adalah Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman As Salafus Sholih, bukan pendapat imam fulan atau kyai fulan. Alloh berfirman, “Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Alloh (Al Quran) dan Rosul (sunnahnya).” (QS. An Nisa’: 59). Dalam hal ini Syaikhul Islam rohimahulloh berkata, “Tidak boleh bagi seseorang untuk berhujjah dengan ucapan seseorang dalam masalah khilafiyah. Pengutamaan suatu pendapat atas pendapat yang lain bukan karena pendapat itu pendapat imam fulan atau syaikh fulan. Akan tetapi karena ketegasan dan kejelasan dalil-dalil yang mendasari pendapat tersebut.” (Majmu’ Fatawa).

Siapapun yang berbeda pendapat harus menyadari bahwa tidak ada manusia yang ma’shum (terbebas dari kesalahan) kecuali Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam. Imam Malik rohimahulloh berkata, “Setiap orang dapat diterima atau ditolak perkataannya, kecuali penghuni kubur ini (yaitu Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam).” Maka tidak layak seorang muslim memaksakan pendapatnya kepada saudaranya yang lain dalam hal-hal fiqhiyyah yang berada dalam ruang lingkup ijtihadiyah. Adapun untuk masalah-masalah fiqh yang tidak menerima ijtihad (yang sudah jelas hukumnya), seperti haramnya babi, khamr, bolehnya poligami, wajibnya menutup aurat dan lain-lain, maka tidak boleh berbeda pendapat.

Tidak boleh berdalil dengan pertikaian yang terjadi di kalangan sahabat Nabi sebagai usaha untuk tetap mempertahankan perbedaan dan perselisihan. Lihatlah kapasitas mereka! Mereka adalah mujtahid mutlak umat ini. Bandingkan dengan kaum muslimin sekarang! Jangankan untuk memahami sebab-sebab perselisihan di kalangan ulama, tergerak hatinya untuk belajar agama saja tidak ada. Apakah keadaan ini bisa dianalogikan dengan mereka para sahabat Nabi?!

Tidak pantas bagi seorang muslim menuduh saudaranya telah keluar dari Al Jama’ah (Golongan Rosululloh dan para sahabatnya) hanya karena berbeda pendapat dalam masalah ijtihadiyah. Hendaklah dia menahan dirinya dengan tidak memaksakan pendapatnya kepada orang lain (lebih-lebih kepada orang awam yang baru belajar agama) yang ia temui untuk bersikap terhadap saudaranya yang berbeda pendapat dengannya. Jika orang tersebut tidak mau menunjukkan sikapnya secara jelas, maka diapun dianggap masuk ke dalam kelompok lawannya. Syaikh Abdul Muhsin Al Badr hafidhohulloh berkata, “Mereka tak ubahnya seperti suporter olahraga yang saling menyemangati kelompoknya. Mereka dihajr hanya karena tidak membicarakan si fulan atau jama’ah tertentu.” (Rifqon Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah).

Catatan:

Sesungguhnya perselisihan itu (pada asalnya) adalah tercela. Wajib bagi kita semua berusaha sebisa mungkin menghindari perselisihan. Karena perselisihan menyebabkan umat ini lemah. Sebagaimana Alloh berfirman, “Dan taatlah kepada Alloh dan Rosul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Alloh beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al Anfal: 46)

Perbedaan yang dilarang adalah perbedaan atau perselisihan yang mengantarkan kepada perpecahan. Maka perlu diwaspadai sebab-sebab perpecahan umat ini antara lain: Kebid’ahan(dalam keyakinan, perkataan atau perbuatan), memperturutkan hawa nafsu (syahwat), fanatisme buta (ta’ashub), meniru-niru orang kafir(tasyabbuh) dan kejahilan beragama (tidak mau belajar/ngaji). Wallohu a’lam.

***

Penulis: Nurdin Abu Yazid
Artikel www.muslim.or.id
link: http://muslim.or.id/manhaj/perbedaan-atau-perpecahan.html

Politik Islam : Telaah Sistem Pemerintahan Masa Rasulullah Muhammad saw pada Daulah Islam Madinah al Munawaroh


Sistem politik Islam memang berbeda dengan sistem-sistem politik lainnya. Satu perkara yang paling penting dalam sistem politik Islam adalah bahwa kedaulatan itu tidak di tangan rakyat maupun Kepala Negara, melainkan ditangan syara’. Hanya saja pesan-pesan syara’ yang sifatnya ilahi itu tidak dimonopoli oleh Kepala Negara (khalifah) dan tidak dimanipulasi oleh tokoh agama karena kedudukan seluruh kaum muslimin di depan syara’ (baik dari segi hukum maupun kewajibannya) adalah sama. Oleh karena itu, meskipun kekuasaan dan wewenang pelaksanaan politik itu terpusat kepada khalifah, tidak menyebabkan kelemahan negara Islam, malah justru memperkuatnya.

Kekuasaan khalifah adalah kekuasaan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum syariat Islam. Kontrol pelaksanaan hukum dan mekanismenya yang mudah serta tolok ukur yang jelas (yakni nash-nash syara’) telah menjadikan daulah ini kokoh dan tegak menjadi rahmat bagi seluruh dunia selama berabad-abad.

Sepakatlah semua pemikir muslim bahwa Madinah adalah negara Islam yang pertama, dan apa yang dilakukan Rasulullah setelah hijrah dari Makkah ke Madinah adalah memimpin masyarakat Islam dan memerankan dirinya bukan hanya sebagai Rasul semata tetapi juga sebagai kepala negara Islam Madinah.

Landasan Politik di Masa Rasulullah

Langkah-langkah Rasulullah dalam memimpin masyarakat setelah hijrahnya ke Madinah, juga beberapa kejadian sebelumnya, menegaskan bahwa Rasulullah adalah kepala sebuah masyarakat dalam apa yang disebut sekarang sebagai negara. Beberapa bukti bisa disebut, diantaranya:

Bai’at Aqabah

Pada tahun kesebelas kenabian, enam orang dari suku Khajraz di Yathrib bertemu dengan Rasululah di Aqabah, Mina. Mereka datang untuk berhaji. Sebagai hasil perjumpaan itu, mereka semua masuk Islam. Dan mereka berjanji akan mengajak penduduk Yathrib untuk masuk Islam pula. Pada musim haji berikutnya, dua belas laki-laki penduduk Yathrib menemui Nabi di tempat yang sama, Aqabah. Mereka, selain masuk Islam, juga mengucapkan janji setia (bai’at) kepada Nabi untuk tidak menyekutukan Allah, tidak mencuri, tidak berzina, tidak berdusta, serta tidak mengkhianati Nabi. Inilah Bai’at Aqabah Pertama. Kemudian pada musim haji berikutnya sebanyak tujuh puluh lima penduduk Yathrib yang sudah masuk Islam berkunjung ke Makkah. Nabi menjumpai mereka di Aqabah. Di tempat itu mereka mengucapkan bai’at juga, yang isinya sama dengan bai’at yang pertama, hanya saja pada yang kedua ini ada isyarat jihad. Mereka berjanji akan membela Nabi sebagaimana membela anak istri mereka, bai’at ini dikenal dengan Bai’at Aqabah Kedua.

Kedua bai’at ini menurut Munawir Sadjali (Islam dan Tata Negara, 1993) merupakan batu pertama bangunan negara Islam. Bai’at tersebut merupakan janji setia beberapa penduduk Yathrib kepada Rasulullah, yang merupakan bukti pengakuan atas Muhammad sebagai pemimpin, bukan hanya sebagai Rasul, sebab pengakuan sebagai Rasulullah tidak melalui bai’at melainkan melalui syahadat. Dengan dua bai’at ini Rasulullah telah memiliki pendukung yang terbukti sangat berperan dalam tegaknya negara Islam yang pertama di Madinah. Atas dasar bai’at ini pula Rasulullah meminta para sahabat untuk hijrah ke Yathrib, dan beberapa waktu kemudian Rasulullah sendiri ikut Hijrah bergabung dengan mereka.

Piagam Madinah

Umat Islam memulai hidup bernegara setelah Rasulullah hijrah ke Yathrib, yang kemudian berubah menjadi Madinah. Di Madinahlah untuk pertama kali lahir satu komunitas Islam yang bebas dan merdeka di bawah pimpinan Nabi Muhammad, Penduduk Madinah ada tiga golongan. Pertama kaum muslimin yang terdiri dari kaum Muhajirin dan Anshar, dan ini adalah kelompok mayoritas. Kedua, kaum musyrikin, yaitu orang-orang suku Aus dan Kharaj yang belum masuk Islam, kelompok ini minoritas. Ketiga, kaum Yahudi yang terdiri dari empat kelompok. Satu kelompok tinggal di dalam kota Madinah, yaitu Banu Qunaiqa. Tiga kelompok lainnya tinggal di luar kota Madinah, yaitu Banu Nadlir, Banu Quaraizhah, dan Yahudi Khibar. Jadi Madinah adalah masyarakat majemuk. Setelah sekitar dua tahun berhijrah Rasulullah memaklumkan satu piagam yang mengatur hubungan antar komunitas yang ada di Madinah, yang dikenal dengan Piagam (Watsiqah) Madinah.Inilah yang dianggap sebagai konstitusi negara tertulis pertama di dunia. Piadam Madinah ini adalah konstitusi negara yang berasaskan Islam dan disusun sesuai dengan syariat Islam.

Peran Sebagai Kepala Negara

Dalam negeri

Sebagai Kepala Negara, Rasulullah sadar betul akan arti pengembangan sumber daya manusia, dan yang utama sehingga didapatkan manusia yang tangguh adalah penanaman aqidah dan ketaatan kepada Syariat Islam. Di sinilah Rasulullah, sesuai dengan misi kerasulannya memberikan perhatiaan utama. Melanjutkan apa yang telah beliau ajarkan kepada para sahabat di Makkah, di Madinah Rasul terus melakukan pembinaan seiring dengan turunnya wahyu. Rasul membangun masjid yang dijadikan sebagai sentra pembinaan umat. Di berbagai bidang kehidupan Rasulullah melakukan pengaturan sesuai dengan petunjuk dari Allah SWT. Di bidang pemerintahan, sebagai kepala pemerintahan Rasulullah mengangkat beberapa sahabat untuk menjalankan beberapa fungsi yang diperlukan agar manajemen pengaturan masyarakat berjalan dengan baik. Rasul mengangkat Abu Bakar dan Umar bin Khattab sebagai wajir. Juga mengangkat beberapa sahabat yang lain sebagai pemimpin wilayah Islam, diantaranya Muadz Bin Jabal sebagai wali sekaligus qadhi di Yaman.

Luar Negeri

Sebagai Kepala Negara, Rasulullah melaksanakan hubungan dengan negara-negara lain. Menurut Tahir Azhari (Negara Hukum, 1992) Rasulullah mengirimkan sekitar 30 buah surat kepada kepala negara lain, diantaranya kepada Al Muqauqis Penguasa Mesir, Kisra Penguasa Persia dan Kaisar Heraclius, Penguasa Tinggi Romawi di Palestina. Nabi mengajak mereka masuk Islam, sehingga politik luar negeri negara Islam adalah dakwah semata, bila mereka tidak bersedia masuk Islam maka diminta untuk tunduk, dan bila tidak mau juga maka barulah negara tersebut diperangi.

Hubungan Rakyat dan Negara

Peran Rakyat

Dalam Islam sesungguhnya tidak ada dikotomi antara rakyat dengan negara, karena negara didirikan justru untuk kepentingan mengatur kehidupan rakyat dengan syariat Islam. Kepentingan tersebut yaitu tegaknya syariat Islam secara keseluruhan di segala lapangan kehidupan. Dalam hubungan antara rakyat dan negara akan dihasilkan hubungan yang sinergis bila keduanya memiliki kesamaan pandangan tentang tiga hal (Taqiyyudin An Nabhani, Sistem Pemerintahan Islam, 1997), pertama asas pembangunan peradaban (asas al Hadlarah) adalah aqidah Islam, kedua tolok ukur perbuatan (miqyas al ‘amal) adalah perintah dan larangan Allah, ketiga makna kebahagiaan (ma’na sa’adah) dalam kehidupan adalah mendapatkan ridha Allah. Ketiga hal tersebut ada pada masa Rasulllah. Piagam Madinah dibuat dengan asas Islam serta syariat Islam sebagai tolok ukur perbuatan.

Adapun peran rakyat dalam negara Islam ada tiga, pertama melaksanakan syariat Islam yang wajib ia laksanakan, ini adalah pilar utama tegaknya syariat Islam, yakni kesediaan masing-masing individu tanpa pengawasan orang lain karena dorongan taqwa semata, untuk taat pada aturan Islam, kedua, mengawasi pelaksanaan syariat Islam oleh negara dan jalannya penyelenggaraan negara, ketiga, rakyat berperan sebagai penopang kekuatan negara secara fisik maupun intelektual, agar menjadi negara yang maju, kuat, disegani di tengah-tengah percaturan dunia. Di sinilah potensi umat Islam dikerahkan demi kejayaan Islam (izzul Islam wa al Muslimin).

Aspirasi Rakyat

Dalam persoalaan hukum syara’, kaum muslimin bersikan sami’ na wa atha’na. Persis sebagaimana ajaran al Qur’an, kaum muslimin wajib melaksanakan apa saja yang telah ditetapkan dan meninggalkan yang dilarang. Dalam masalah ini Kepala Negara Islam menetapkan keputusannya berdasarkan kekuatan dalil, bukan musyawarah, atau bila hukumnya sudah jelas maka tinggal melaksanakannya saja. Menjadi aspirasi rakyat dalam masalah tasyri’ untuk mengetahui hukum syara’ atas berbagai masalah dan terikat selalu dengannya setiap waktu. Menjadi aspirasi mereka juga agar seluruh rakyat taat kepada syariat, dan negara melaksanakan kewajiban syara’nya dengan sebaik-baiknya. Rakyat akan bertindak apabila terjadi penyimpangan.

Di luar masalah tasyri’, Rasulullah membuka pintu musyawarah. Dalam musyawarah kada Rasulullah mengambil suara terbanyak, kadang pula mengambil pendapat yang benar karena pendapat tersebut keluar dari seorang yang ahli dalam masalah yang dihadapi. Dan para sahabat pun tidak segan-segan mengemukakan pendapatnya kepada Rasulullah, setelah mereka menanyakan terlebih dahulu apakah hal ini wahyu dari Allah atau pendapat Rasul sendiri.

Penegakkan Hukum

Hukum Islam ditegakkan atas semua warga, termasuk non muslim di luar perkara ibadah dan aqidah. Tidak ada pengecualian dan dispensasi. Tidak ada grasi, banding, ataupun kasasi. Tiap keputusan Qadhi adalah hukum syara’ yang harus dieksekusi. Peradilan berjalan secara bebas dari pengaruh kekuasaan atau siapapun.

Kesimpulan

1. Madinah adalah negara Islam pertama dengan Muhammad Rasulullah sebagai kepala negara. Praktek kenegaraan di segala bidang berjalan dengan baik.

2. Tidak ada dikotomi antara rakyat dengan negara. Keduanya adalah pilar penopang tegaknya hukum Allah dan penentu tegaknya Izzul Islam wa al muslimin

3. Yang disebut sebagai aspirasi rakyat dalam negara Islam adalah terlaksananya serta terselenggaranya pemerintah dengan sebaik-baiknyademi tercapainya tujuan dakwah Islam. Di luar masalah tasyri’, menjadi tuntunan Islam keputusan diambil dengan musyawarah baik berdasarkan suara terbanyak atau pendapat yang paling benar. Demi terselenggaranya praktek kenegaraan dengan baik, penting sekali peran muhasabah (koreksi) dari rakyat kepada penguasa

4. Hukum dijalankan atas semua warga, tanpa kecuali. Tidak ada grasi, amnesti, dispensasi, banding atau kasasi. Keputusan qadhi adalah tinggal yang wajib dilaksanakan

FUNGSI SOSIAL ZAKAT dalam MEMBEBASKAN KEMISKINAN


“Apakah zakat mampu mengentaskan masyarakat dari kemiskinan?” Kalau jawabannya mampu, berapa persen setiap tahun saudara kita yang miskin tadi berubah menjadi tidak miskin? Jika jawabannya “tidak” atau “belum”, di mana letak kesalahannya?

Kemiskinan bukan ungkapan yang asing bagi kita, masyarakat negara ketiga. Masing-masing pikiran kita punya persepsi tentang yang mana “miskin” dan “kaya”. Setiap saat kita dijejali dengan sekian produk “pemiskinan” yang membuat kita secara tidak sadar, mengkondusifkan proses “memiskinkan” diri sendiri. Dalam skala yang lebih besar, tak ayal, bangsa kita juga bangsa yang miskin. Dengan memakai perpsektif apapun, semiskin-miskinnya bangsa lain, kita akan tetap berstatus miskin. Kita tidak layak disebut “kaya” karena kita masih miskin. Biarpun berlimpah sumber daya alam (SDA), toh kita tetap tidak mampu berbuat banyak. Kita juga miskin gerak, miskin uang, miskin moral dan miskin akhlak, dan lain sebagainya yang miskin.

Kendati demikian, realitas yang bisa diamati dalam struktur sosial masyarakat kita dewasa ini adalah masih tingginya angka kemiskinan dan pengangguran. Tentu saja fakta ini tidak terlepas dari gelombang krisis ekonomi yang menghantam sendi-sendi perekonomian nasional di penghujung abad keduapuluh satu ini. Dampak dari krisis ekonomi itu di dunia industri, misalnya, dapat dilihat dari banyaknya instansi perusahaan yang mengeluarkan surat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bagi sejumlah besar karyawannya. Pada akhirnya, jumlah korban PHK yang terus bertambah dan tidak diikuti dengan terciptanya peluang kerja menimbulkan pembengkakan angka pengangguran. Inilah jawaban kenapa jurang kemiskinan yang menelan kebanyakan rakyat Indonesia serasa kian menganga.

Memang telah banyak usaha dilakukan pemerintah untuk mengurangi angka kemiskinan tersebut. Namun dalam konteks ini, perlulah kiranya kita umat Islam merefleksikan bagaimana memainkan peranan zakat sebagai salah satu media dalam rangka pembebasan atau pengentasan kemiskinan tadi.

Prioritas dalam Mustahik Zakat

Sejauh pengamatan penulis, delapan golongan pihak penerima zakat (mustahik), yang telah disebut dalam Al-Quran (Lihat QS. At-Taubah: 60) , yang layak dimasukkan dalam skala prioritas adalah tiga golongan, yaitu faqir, miskin dan sabilillah—tentu saja, sekali lagi, dengan tidak menafikan keberadaan golongan yang lain. Miskin adalah orang yang memiliki harta (tidak termasuk tempat tinggal dan pakaian) dan atau pekerjaan tetap, namun hanya bisa memenuhi setengah atau lebih dari kebutuhan pokoknya. Sementara yang tergolong faqir adalah orang yang kepemilikan harta dan pekerjaannya sebagaimana terdefinisikan dalam golongan miskin, dan atau malah tidak memiliki sama sekali, di mana hal itu hanya mencukupi kurang dari setengah kebutuhannya. Untuk lebih jelasnya dapat digambarkan jika kebutuhan pokok dinominalkan dengan 100 ribu rupiah, maka golongan miskin adalah yang penghasilannya berkisar antara 50 ribu hingga 90 ribu, atau tidak mencapai 100 ribu. Sedangkan golongan faqir adalah mereka yang penghasilannya kurang dari 50 ribu.

Adapun sabilillah termasuk di dalamnya adalah pembangunan atau perbaikan sarana-sarana sosial dan keagamaan yang manfaatnya benar-benar bisa dirasakan oleh masyarakat luas. Yang termasuk sabilillah dapat dicontohkan dengan pembangunan sekolah atau lembaga-lembaga pendidikan sejenisnya, perbaikan masjid berikut sarana pendidikan keagamaan umpamanya pelengkapan fasilitas Taman Pendidikan Al-Quran (TPA), pengadaan perpustakaan (masjid), dan sebagainya.

Reorientasi Paradigma Pendistribusian Zakat

Manusia memiliki kadar survivalitas berbeda-beda dalam usaha mengubah nasibnya. Mereka yang dasarnya malas, diberi motivasi dan suntikan dana termasuk di dalamnya zakat pun tetap malas dikarenakan kebudayaan masyarakat setempat yang tidak mau maju atau tidak mau mencapai kemajuan. Mungkin kategori ini yang diberi zakat konsumtif dan tentu jumlahnya sekadar cukup untuk dikonsumsi beberapa hari. Mereka yang berkeinginan kuat mengubah nasibnya diberi zakat produktif-kreatif. Jika perlu ada manajemen pendampingan agar usahanya berjalan baik. Dengan demikian, dapat ditargetkan dalam periode atau satuan waktu tertentu ia telah meningkat posisinya dari mustahik menjadi muzaki.

Jika cara ini biasa dilakukan, maka tahun depan datanya sudah pindah dan dimasukkan ke data muzaki. Jika setiap tahun di setiap kabupaten/kota saja pengentasan masyarakat miskin bisa di-setting hingga 500 sampai 1.000 orang miskin menjadi muzaki, secara sistematis angka kemiskinan dapat dikurangi. Pengentasan satu orang miskin bermultiefek atau setidaknya efek ganda pada keluarga mereka. Jika 1.000 orang per kabupaten/kota dientaskan, berarti 3.000 orang telah naik peringkat dengan asumsi setiap orang menanggung dua orang keluarganya. Berarti 3.000 x 35 = 105.000 orang per tahun se-Jawa Barat. Angka ini hanya perumpamaan kecil. Penulis yakin potensi zakat di setiap kabupaten/kota cukup besar dan dapat mengentaskan lebih dari 1000 orang.

Potensis zakat perlu dimanfaatkan secara maksimal. Pada konteks yang lebih lebar, pemanfaatan zakat dapat dilakukan dengan memperhatikan kebutuhan nyata yang mengarah pada peningkatan kesejahteraan dan pembebasan diri dari kemiskinan. Untuk itu dapat diupayakan dengan pendistribusian zakat produktif-kreatif, misalnya, memberi modal kerja sesuai dengan keahlian penerima zakat. Pada gilirannya, mereka yang kali ini tercatat sebagai penerima zakat kelak sudah berubah sebagai pembayar zakat.

Koordinasi dan Sinergitas Antar LAZ-BAZ

Persoalannya sekarang, dari mana memulai UU No 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat dan Kepmenag No 581/1999 setelah diberikan rambu-rambu yang cukup detail? Di Departemen Agama telah ada struktur baru. Di tingkat pusat ada direktur pengembangan zakat dan wakaf. Di kantor wilayah (provinsi) ada kepala bidang zakat dan wakaf, tapi digabung dengan bidang haji. Di tingkat kandepag kota atau kabupaten ada kepala seksi yang menangani zakat.

Harapannya, dari para pejabat inilah koordinasi pengelolaan zakat dioptimalkan kinerjanya. Karena secara teknis operasional BAZ atau LAZ yang menangani pengelolaan zakat, BAZ dan LAZ di berbagai tingkatan perlu dioptimalkan kinerjanya. Selain itu dengan koordinasi secara terjadwal dan rutin antar-BAZ dan LAZ dengan Depag, tumpang tindih di dalam pendistribusian zakat dapat dihindari dan efektivitas sasaran zakat dapat dipantau sejak dini. Jika demikian halnya, persoalan utamanya mengapa zakat yang boleh jadi setiap tahun telah dikeluarkan belum mampu secara signifikan mengatasi angka kemiskinan? Boleh jadi terletak pada kesalahan manajerialnya.

Jika pada masa Abu Bakar sebagai khalifah ada sekelompok warganya yang enggan menyerahkan zakat kemudian diperangi, itu karena dari zakatlah dana untuk fakir miskin dipenuhi. Apalagi saat itu keberadaan Baitul Mal -semacam kas negara- belum mapan. Karena itu, untuk menjawab pertanyaan pada awal tulisan ini, selama zakat dikelola secara ”amatiran” dan cenderung konsumtif-karitatif, selama itu pula tujuan disyariatkannya zakat untuk merubah mustahik menjadi muzaki dan terbebas dari kemiskinan tidak pernah berhasil secara efektif. Implikasinya, fungsi sosial zakat tidak terealisasi, bahkan mungkin justru akan menyuburkan tumbuhnya sifat menggantungkan diri sebagian saudara-saudara kita yang kekurangan.

Penutup

Harapan zakat sebagai salah satu alternatif dalam pembebasan kemiskinan tidaklah semudah membalikan tangan. Selain dari segi metode pendistribusiannya atau pendayagunaannnya yang perlu direvitalisasi, kerjasama berbagai pihak, baik pemerintah (melalui UU ZISWAF), BAZ-LAZ ataupun umat Islam yang tergabung dalam Lembaga-lembaga Amil Zakat agar gerakan zakat yang berlangsung berjalan sinergis sangtlah diperlukan. Tanpa hal itu semua, mungkin zakat sebagai salah satu alternatif dalam pembebasan kemiskinan merupakan mimpi disiang bolong dan hal itu akan mengkebiri fungsi sosial dari ibadah zakat.

Wallahu’ alam bish-shawab

Uang (kertas) versus Emas




{dari beberapa sumber dengan pengeditan}

Segeralah mempergunakan emas dan perak; sebagai mata uang dan investasi, dan sedikit demi sedikit—lebih cepat lebih baik—menukar Rupiah, Dollar, Yen, Euro, Poundsterling, Gulden, dan sebagainya dengan emas dan perak sebagai mata uang yang sejati, karena yang lain itu sesungguhnya cuma simbol yang secara intrinsik tidak memiliki nilai apa‐apa.

Apa yang kita namakan dengan mata uang sekarang ini, yaitu Dollar, Yen, Rupiah, Poundsterling, Euro, dan sebagainya, pada hakikatnya hanya selembar kertas biasa (dan yang berbentuk koin juga koin biasa yang tak ada harganya), yang hanya menjadi “uang” karena ada jaminan dari bank. Bank sendiri berani menjamin mata uang yang tak berharga tersebut karena memiliki cadangan devisa berupa emas dan perak.

Emas dan perak inilah yang sampai saat ini terus berupaya direbut dan ditimbun oleh Konspirasi Internasional dari tangan seluruh warga dunia, agar emas dan perak seluruh dunia berada di tangan mereka dan di tangan yang tidak tahu hanyalah selembar kertas tidak berharga yang dipakai sebagai alat transaksi. Keadaan ini akan sangat menguntungkan kaum Konspirasi Internasional yang bisa seenaknya memainkan nilai tukar mata uang tersebut sehingga masyarakat banyak bisa dikendalikan dengan mudah.

Lantas, apa sebenarnya beda emas dan perak dengan mata uang‐mata uang negara‐negara dunia yang sekarang dicetak dari selembar kertas biasa?

Kehebatan Emas dan Perak

Sejak berabad‐abad silam, emas dan perak telah menjadi logam mulia yang diagungkan oleh banyak manusia. Bahkan emas dan perak, juga batu permata, telah dipergunakan oleh raja‐raja, para sultan, para diktator, tiran, dan sebagainya sebagai bahan dasar pembuatan mahkota mereka.

Tuhan menciptakan dua logam mulia itu bukan sekadar sebagai alat pengukur nilai, atau untuk menyimpan kekayaan (investasi), tetapi juga sebagai alat tukar (medium of exchange). ” Karena tingginya kedudukan emas dan perak inilah maka banyak kalangan menganggap kedua logam mulia tersebut sebagai Heaven’s Currency (Mata uang surga).

“Masyarakat kuno sudah menggunakan emas, perak, dan tembaga untuk transaksi ekonomi. Emas dan perak dipilih karena kelangkaan (rare) dan warnanya yang indah. Dalam sejarah manusia, tak lebih dari 90. 000 ton emas yang ditambang dari perut bumi. Sementara perak dan tembaga untuk memenuhi transaksi dengan nilai yang lebih rendah dari emas. ”

Uniknya, dunia modern mengklasifikasikan logam‐logam mulia tersebut dalam kolom yang sama. Tabel Periodik menempatkan emas, perak, dan tembaga (dengan simbol masing‐masing Au, Ag, dan Cu) dalam kelompok yang sama yakni Golongan 11. Berbeda dengan kebanyakan logam lainnya, emas memiliki sifat yang sangat istimewa.

Pertama, ia tidak bisa diubah dengan bahan kimia apa pun. Archimedes (300 SM) membuktikan bahwa emas bisa dideteksi tanpa merusak dan hanya dengan menggunakan air tawar biasa. Karena bukan termasuk logam yang aktif maka emas tidak terpengaruh oleh air dan udara. Tidak seperti besi atau logam lainnya, emas tidak bisa berkarat.

Selain itu, emas juga termasuk logam yang sangat lunak. Bisa ditempa menjadi lempengan yang super tipis dan bisa juga ditempa menjadi kawat dengan ketebalan super mini. Bayangkan saja, satu ons emas bisa ditempa dengan luas seukuran 100 kaki persegi atau dibuat kawat sepanjang 50 mil!

Emas juga dikenal sebagai logam mulia paling berat. Satu kaki kubik emas beratnya mencapai lebih dari setengah ton. Itulah sebabnya mengapa dalam sejarah manusia tidak pernah ada pencurian emas dalam skala besar karena untuk itu diperlukan alat berat untuk mengangkatnya.

Sepanjang sejarah manusia, penambangan emas dunia dari tahun ke tahun hanya mengalami kenaikan dua persen tiap tahunnya. Dalam setahun seluruh industri tambang emas dunia menghasilkan kira‐kira 2.000 ton emas. Bandingkan dengan produksi baja AS sejak 1995 seperti yang dirilis Iron and Steel Institute yang bermarkas di Washington DC yang mencapai 10. 500 ton perjamnya. Sebab itu, emas sungguh‐sungguh logam yang sanga langka dan sangat stabil nilainya sejak awal sejarah manusia hingga kini.

Penggunaan emas dan perak sebagai mata uang sejati sesungguhnya telah dipergunakan berabad‐abad yang lalu. Koin emas dalam sejarah dibuat pertama kalinya pada masa Raja Croesus dari Lydia, sebuah kerajaan kuno yang terletak di barat Anatolia, sekitar tahun 560 SM.
Sedangkan koin perak dibuat lebih dulu lagi yakni 140 tahun sebelum koin emas pertama dibuat, yaitu pada 700 SM, pada masa Raja Pheidon dari Argos, Yunani.

Koin emas telah dipergunakan sebagai alat tukar di masa Kerajaan Romawi. Kaisar Julius Caesar
mengenalkan aureus (berasal dari kata ‘aurum’ yang memiliki arti sebagai emas) sebagai standar penukaran di kerajaannya. Karena nilainya yang besar, aureus ini hanya dipergunakan sebagai alat pembayar utang. Aureus dibuat dari 99% emas murni dengan berat 8 gram. Namun ketika Nero menjabat sebagai kaisar, maka beratnya diturunkan menjadi 7, 7 gram.

Di Mulai Dari Romawi dan Persia Dinar dan dirham dikenal oleh orang Arab jauh sebelum Uang kertas datang. Dalam aktivitas perdagangannya, para pedagang Arab ini berinteraksi dengan banyak bangsa. Saat pulang dari Syam, mereka membawa dinar emas Romawi (Byzantium), dan yang pulang dari Iraq, mereka membawa dirham perak Persia (Sassanid). Sering pula mereka membawa dirham Himyar dari Yaman.

Fakta ini terus berlanjut sepanjang sejarah hingga beberapa saat menjelang Perang Dunia I ketika dunia menghentikan penggunaan emas dan perak sebagai mata uang. Penggunaan mata uang emas/perak ini kian lama kian susut. dan berakhir ketika Kekhalifahan Turki Utsmaniyah runtuh pada tahun 1924.

Asal Sistem Uang kertas

‘Usury” merupakan sebuah sistem yang berasal dari zaman kegelapan. Di masa kejayaan Ordo Knights Templar di Eropa usai Perang Salib pertama (1099), ordo yang disahkan oleh Paus dan diberi hak istimewa untuk bisa memungut pajak di seluruh daerah kekuasaannya ini kemudian mendirikan sebuah lembaga simpan‐pinjam yang entah secara kebetulan atau tidak diberi nama “Usury”.

Jika biasanya para peziarah dari Eropa yang ingin berangkat ke Jerusalem membawa serta harta dan kekayaannya yang sangat banyak sebagai bekal, maka dengan adanya “Usury” ini, tiap peziarah Eropa yang ingin ke Jerusalem boleh menitipkan harta bendanya ke “Usury” di Eropa dan sebagai gantinya dia diberi secarik kertas sebagai kartu jaminan yang berisi kata‐kata sandi, yang nantinya setibanya di Jerusalem bisa ditukarkan dengan uang dan yang diperlukannya dengan hanya menyerahkan kertas jaminan tersebut. Tentunya ordo ini sebagai penyelenggara “Usury” menarik keuntungan yang bersifat material.

Knights Templar sendiri dibentuk oleh Ordo Biarawan Sion, sebuah Ordo yang didirikan Godfroi de Bouillon, salah satu panglima pasukan salib yang oleh banak sejarawan Barat diduga kuat berasal dari kelompok Kabbalah. Kelompok ini terdiri dari tokoh‐tokoh Yahudi‐Kabbalis yang di kemudian hari berkumpul di rumah Sir Mayer Amschel Rotschilds di Judenstrasse, Bavaria, tahun 1773, guna merancang penguasaan dunia dan mendirikan The New Illuminati di bawah komando Adam Weishaupt. Dari sinilah The Federal Reserve dan jaringan perbankan dunia yang menyebarkan uang kartal berawal.

Pada prinsipnya, sistem uang kertas (kartal) adalah sistem penipuan terhadap masyarakat banyak. Secara sederhana, sistem ini bisa digambarkan sebagai mencetak sebanyak‐banyaknya uang kertas (uang simbol yang sesungguhnya tidak memiliki nilai sama sekali) dan mengguyurnya ke tengah masyarakat. Di lain pihak dalam waktu bersamaan, pengelola atau pengusaha yang mencetak uang kartal itu menarik sebanyakbanyaknya batangan emas ke pihaknya dari masyarakat luas. Jadi mereka menukar uang kartal yang sama sekali tidak ada harganya dengan batangan‐batangan emas.

Sejarah kertas Uang di Amerika Serikat

Sejarah uang kartal bisa kita lihat dengan sangat bagus dalam sejarah perekonomian Amerika Serikat. Semua paparan di bawah ini terkait sejarah uang di AS dikutip dari buku “Knights Templar, Knights of Christ” (Pustaka Alkautsar, 2006):

Jauh sebelum AS terbentuk, para Mason telah berada di daratan ini. Ketika Amerika masih berupa 13 koloni Inggris, Benjamin Franklin mengunjungi London dan menemui sejumlah pemodal Yahudi di sana. Dalam pertemuan yang dicatat dalam Dokumen Senat AS halaman 98 butir 33, yang dilaporkan Robert L. Owen, mantan kepala komisi bank dan keuangan Kongres AS, dilaporkan bahwa wakil‐wakil perusahaan Rothschild di London menanyakan kepada Benjamin Franklin hal‐hal apa saja yang bisa membuat perekonomian koloni Amerika itu bisa maju.

Franklin anggota Freemansonry Inggris itu menjawab, “Itu mudah. Kita akan cetak mata uang kita sendiri, sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan oleh industri yang kita miliki. ” Rothschild segera saja mencium kesempatan besar untuk menangguk untung di koloni Inggris ini. Namun sebagai langkah awal, hak untuk mencetak uang sendiri bagi koloni di seberang lautan tersebut masih dilarang oleh Inggris yang sudah dikuasai Yahudi.

Amshell Mayer Rothschild sendiri saat itu masih sibuk di Jerman mengurus bisnisnya, yang salah satu cabang usahanya adalah mengorganisir tentara bayaran (The Mercenaries) Jerman bagi Inggris untuk menjaga koloni‐koloni Inggris yang meluas melampaui Eropa. Usulan mencetak mata uang sendiri bagi Amerika, lepas dari sistem mata uang Inggris, akhirnya tiba di hadapan Rothschild. Setelah memperhitungkan segala laba yang akan bisa diperoleh, demikian pula dengan penguasaan politisnya, maka Rothschild akhirnya menganggukkankepalanya.

Dengan cepat lahirlah sebuah undang‐undang yang memberi hak kepada pemerintah Inggris di koloni Amerika untuk mencetak mata uangnya sendiri bagi kepentingan koloninya tersebut. Seluruh asset koloni Amerika pun dikeluarkan dari Bank Sentral Inggris, sebagai pengembalian deposito seklaigus dengan bunganya yang dibayar dengan mata uang yang baru. Hal ini menimbulkan harapan baru di koloni Amerika. Tapi benarkah demikian?

Dalam jangka waktu setahun ternyata Bank Sentral Inggris—lewat pengaruh pemodal yang adalah beberapa orang yang terlibat dalam konspirasi international—menolak menerima pembayaran lebih dari 50% dari nilai mata uang Amerika, padahal ini dijamin oleh undang‐undang yang baru. Dengan sendirinya, nilai tukar mata uang Amerika pun anjlok hingga setengahnya. “…Masa‐masa makmur telah berakhir, dan berubah menjadi krisis ekonomi yang parah. Jalan‐jalan di seluruh koloni tersebut kini tidak lagi aman,” demikian paparan Benjamin Franklin yang tercatat dalam Dokumen Kongres AS nomor 23.

Belum cukup dengan itu, pemerintah pusat Inggris memberlakukan pajak tambahan kepada koloninya tersebut yakni yang dikenal sebagai Pajak Teh. Keadaan di koloni Amerika bertambah buruk. Kelaparan dan kekacauan terjadi di mana‐mana. Ketidakpuasan rakyat berbaur dengan ambisi sejumlah politikus. Situasi makin genting. Dan tangan‐tangan yang tak terlihat semakin memanaskan situasi ini untuk mengobarkan apa yang telah terjadi sebelumnya di Inggris dan Perancis: Revolusi.

Sejarah mencatat, bentrokkan bersenjata antara pasukan Inggris melawan pejuang kemerdekaan Amerika Serikat meletus pada 19 April 1775. Jenderal George Washington diangkat menjadi pimpinan kaum revolusioner.

Selama revolusi berlangsung, Konspirasi Internasional seperti biasa bermain di kedua belah pihak. Yang satu mendukung Inggris, memberikan utang dan senjata untuk memadamkan ‘pemberontakan kaum revolusioner’, sedangkan satu pihak lagi mendukung kaum revolusioner dengan uang dan juga senjata. Tangantangan Konspirasi menyebabkan Inggris kalah dan pada 4 Juli 1776, sejumlah tokoh Amerika Serikat mendeklarasikan kemerdekaannya.

Merdeka secara politis ternyata tidak menjamin kemerdekaan penuh secara ekonomis. Kaum pemodal dari Inggris masih saja merecoki pemerintahan yang baru saja terbentuk. Rothschild dan seluruh jaringannya tanpa lelah terus menyusupkan agen‐agennya ke dalam tubuh Kongres. Dua orang agen mereka, Alexander Hamilton dan Robert Morris pada tahun 1783 berhasil mendirikan Bank Amerika (bukan bank sentral), sebagai ‘wakil’ dari Bank Sentral Inggris. Melihat gelagat yang kurang baik, Kongres membatalkan wewenang Bank Amerika untuk mencetak uang.

Pertarungan secara diam‐diam ini berlangsung amat panas. Antara kelompok pemodal konspirasi internasional dengan sejumlah tokoh Amerika, yang herannya banyak pula yang merupakan anggota Freemasonry, untuk menguasai perekonomian negara yang baru ini.

Thomas Jefferson menulis surat kepada John Adams, “Saya yakin sepenuhnya bahwa lembaga‐lembaga keuangan ini lebih berbahaya bagi kemerdekaan kita daripada serbuan pasukan musuh. Lembaga keuangan itu juga telah melahirkan sekelompok aristocrat kaya yang kekuasaannya mengancam pemerintah. Menurut hemat saya, kita wajib meninjau hak mencetak mata uang bagi lembaga keuangan ini dan mengembalikan wewenang itu kepada rakyat Amerika sebagai pihak yang paling berhak. ”

Para pemodal konspirasi pun marah bukan main mengetahui surat ini. Nathan Rothschild secara pribadi mengancam Presiden Andrew Jackson akan menciptakan kondisi Amerika yang lebih parah dan krisis berkepanjangan. Tapi Presiden Jackson tidak gentar. “Anda sekalian tidak lain adalah kawanan perampok dan ular. Kami akan menghancurkan kalian, dan bersumpah akan menghancurkan kalian semua!”

Pemodal konspirasi benar‐benar marah sehingga mendesak Inggris agar menyerbu Amerika dan terjadilah perang pada tahun 1816. William Guy Carr telah merinci kejadian demi kejadian ini dengan sangat bagus. Presiden Abraham Lincoln sendiri pada malam tanggal 14 April 1865 dibunuh oleh seorang bernama JohnWilkes Booth. Konspirasi memerintahkan pembunuhan ini karena mengetahui bahwa Presiden Lincoln akan segera mengeluarkan sebuah undang‐undang yang akan menyingkirkan hegemoni Konspirasi terhadap Amerika. Si pembunuh Lincoln, John Wilkes Booth, berhubungan dengan seorang agen Rothschild di Amerika. Booth sendiri tertangkap dan dihukum, sedangkan pihak Konspirasi tetap aman.

Akibat gejolak politik yang berawal dari kepentingan ekonomi, pada 1913 para bankers AS menyatakan telah terjadi kekurangan mata uang di Amerika. Oleh sebab itu, pemerintah Amerika tidak bisa menerbitkan mata uang lagi karena semua emas cadangannya telah terpakai.

Agar ada tambahan sirkulasi uang, sekelompok orang kemudian mendirikan satu bank yang dinamakan “The Federal Reserve Bank of New York”, yang kemudian menjual stock yang dimiliki dan dibeli oleh mereka sendiri senilai US$ 450.000.000 melalui bank‐bank: Rothschild Bank of London, Rothschild Bank of Berlin, Warburg Bank of Hamburg, Warburg Bank of Amsterdam (Keluarga Warburg mengontrol German Reichsbank bersama Keluarga Rothschild), Israel Moses Seif Bank of Italy, Lazard Brothers of Paris, Citibank, Goldman & Sach of New York, Lehman & Brothers of New York, Chase Manhattan Bank of New York, serta Kuhn & Loeb Bank of New York.

Karena bank‐bank tersebut mempunyai cadangan emas yang besar, maka bank tersebut dapat mengeluarkan mata uang yang dengan jaminan emas tersebut dan mata uang tersebut disebut “Federal Reserve Notes”. Bentuknya sama dengan mata uang Amerika dan masing‐masing dapat saling tukar.

Untuk membayar bunga, pemerintah Amerika menciptakan income‐tax. Jadi sebenarnya warganegara Amerika membayar bunga kepada Federal Reserve. Income tax dimulai tahun 1913, pada tahun yang sama Federal Reserve Bank didirikan. Seluruh income tax yang terkumpul dibayarkan ke Federal Reserve sebagai bunga atas pinjaman.

Awal tahun 1929, Federal Reserve berhenti menerima uang emas sebagai bayaran. Yang berlaku hanya ‘uang resmi’. Federal Reserve mulai menarik uang kertas yang dijamin emas dari sirkulasi dan menggantinya dengan ‘uang resmi’.

Sebelum tahun 1929 berakhir, ekonomi Amerika mengalami malapetaka (dikenal dengan masa ‘Great Depression’). Tahun 1931, Presiden Amerika Hoover mengumumkan kekurangan budjet sebesar US$ 902.000.000. Tahun 1932 Amerika menjual emas senilai US$ 750.000.000 yang digunakan untuk menjamin mata uang Amerika.
Ini sama dengan ‘penjualan likuidasi’ sebuah perusahaan bermasalah. Emas yang dijual ini dibeli dengan potongan (discount rates) oleh bank internsional / bank asing (persis keadaannya seperti di Indonesia sekarang ini), dan pembelinya adalah pemilik Federal Reserve di New York.

Roosevelt melakukan serangkaian keputusan untuk melakukan reorganisasi pemerintahan Amerika sebagai suatu perusahaan. Perusahaan ini kemudian mengalami kebangkrutan. Amerika bangkrut karena tidak bisa membayar bunganya akibat berhutang kepada Federal Reserve. Akibat bangkrutnya Amerika, maka bank‐bank yang merupakan pemilik Federal Reserve sekarang memiliki SELURUH Amerika, termasuk warganegaranya dan asset‐assetnya. Negara Amerika bentuknya adalah anak perusahaan Federal Reserve.

Tahun 1934 Roosevelt memerintahkan seluruh bank di Amerika untuk tutup selama satu minggu dan menarik emas dari seluruh warga AS dan juga mata uang yang diback‐up emas dan menggantinya dengan “seolah‐olah uang” (uang kartal) yang dicetak Federal Reserve. Tahun itu dikenang sebagai ‘Liburan Bank Nasional’.

Warga AS Dilarang Memiliki Emas ‐‐> INI NGERI LOH...

Rakyat mulai menahan emasnya karena mereka tidak mau menggunakan kertas tak bernilai “seolaholah uang”, karena itu Roosevelt pada tahun 1934 mengeluarkan perintah bahwa setiap warganegara dilarang memiliki emas, karena illegal. Para hamba hukum mulai melakukan penyelisikan pada orang‐orang yang memiliki emas, dan segera menyitanya jika ditemukan. (Catatan: Pada saat itu rakyat yang ketakutan berbondong‐bondong menukar emasnya dengan sertifikat/bond bertuliskan I. O. U yang ditandatangani oleh Morgenthau, Menteri Keuangan Amerika). Hal ini merupakan perampokan emas besar‐besaran yang terjadi dalam sejarah umat manusia. Tahun 1976 Presiden Carter mencabut aturan ini.
Tahun 1963 Presiden Kennedy memerintahkan Departemen Keuangan Amerika untuk mencetak uang logam perak. Langkah ini mengakhiri kekuasaan Federal Reserve karena dengan memiliki uang sendiri, maka rakyat Amerika tidak perlu membayar bunga atas uangnya sendiri. Lima bulan setelah perintah itu dikeluarkan, Presiden Kennedy mati dibunuh.

Langkah pertama Presiden Johnson adalah membatalkan keputusan Presiden Kennedy dan
memerintahkan Departemen Keuangan Amerika untuk menghentikan pencetakan mata uang perak sekaligus menarik mata uang perak dari peredaran untuk dimusnahkan. Pada hari yang sama Kennedy dimakamkan, Federal Reserve Bank mengeluarkan uang ‘no promise’ yang pertama. Uang ini tidak menjanjikan bahwa mereka akan membayar dalam mata uang yang sah secara hukum, tetapi mata uang ini merupakan alat pembayaran yang berlaku.

Presiden Ronald Reagan merencanakan memperbaiki pemerintahan Amerika sesuai dengan aturan konstitusi. Ia ditembak beberapa bulan kemudian oleh anak dari teman dekatnya, Wakil Presiden George Bush. Reagan tidak mengeluarkan perintah baru dan pada tahun 1987 untuk melaksanakannya namun perintah tersebut tidak ditanggapi oleh pemerintah Amerika.

Tahun 1993, James Traficant dalam pidatonya yang terkenal di Parlemen mengutuk sistem Federal Reserve sebagai suatu penipuan besar‐besaran. Tak lama setelah itu ia menjadi korban penyelidikan korupsi sekali pun tidak ada tuntutan kepadanya selama bertahun‐tahun. Pada tahun 2002, Traficant akhirnya ‐‐ entah bagaimana ‐‐ terbukti SECARA HUKUM korupsi. (konspirasikah?) Ia mengatakan bahwa saksi‐saksi yang melawan dia semuanya dipaksa untuk berbohong. Ia juga mengeluh karena tidak diperkenankan menghubungi semua orang yang menyelidikinya, sebagai saksi.

Karena kebusukan sistem The Federal Reserve, Henry Ford pernah berkata, “Barangkali ada bagusnya rakyat Amerika pada umumnya tidak mengetahui asal‐usul uang, karena jika mereka mengetahuinya, saya yakin esok pagi akan timbul revolusi. ” Demikian sejarah kebusukan sistem mata uang kertas. Kita seharusnya dengan penuh kesungguhan mulai menggunakan kembali emas dan perak sebagai mata uang, bukan dollar, rupiah, dan sebagainya.

Di Amerika Serikat saja, sejumlah warganegaranya telah lama aktif mengkampanyekan kembali
penggunaan emas dan perak sebagai mata uang sejati (Liberty Dollar). Pelan tapi pasti, dunia akan kembali mempergunakan mata uang sejati ini. Mudah‐mudahan kita tidak terlambat.

Selasa, 18 Agustus 2009

ALHAMDULILLAHI RABBIL ALAMIN


ALHAMDULILLAHI RABBIL ALAMIN, akhirnya bisa juga punya blog....semoga aza berguna buat Dien ... Bangsa.. dan Negri tercinta ini... Amin

Welcome 2 blognya DOELL

mencoba sharing....dan nambah wawasan ....moga berguna...!!!

Cari di Blog Ini